A. Pengertian Model Pengembangan
Kurikulum
Model adalah konstruksi yang bersifat teoristis diri
konsep. Model
merupakan sebuah bentuk tiruan atau miniatur dari benda atau proses sebenarnya,
yang dapat berupa benda ataupun juga prosedur atau gambaran langkah sistematis.
Model walaupun tidak menggambarkan sesuatu secara sama persis sebagaimana
kenyataan sebenarnya, namun dipandang sebagai replikasi asli, semakin baik
replikasi itu, maka semakin baik pula sebuah model tersebut.
Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan
kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah
perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi
pada siswa.
Model pengembangan kurikulum adalah model yang
digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum, dimana kurikulum dibutuhkan
untuk memperbaiki atau menyempurnakan kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan
sendiri baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau sekolah. Model pengembangan kurikulum
adalah gambaran sistematis mengenai prosedur yang ditempuh dalam melakukan
aktivitas pengembangan kurikulum.
Model pengembangan kurikulum merupakan ulasan
teoritis tentang suatu proses pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau
dapat pula hanya mencakup salah satu komponen kurikulum. Ada yang memberikan
ulasan tentang suatu proses kurikulum, dan ada juga yang hanya menekankan pada
mekanisme pengembangannya saja.
Model pengembangan kurikulum merupakan suatu
alternatif prosedur dalam rangka mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi suatu
kurikulum.
Oleh karena itu model pengembangan
kurikulum harus dapat menggambarkan suatu proses sistem perencanaan
pembelajaran yang memenuhi berbagai kebutuhanan standar keberhasilan dalam
pendidikan.
Sedapat mungkin dalam pengembangan kurikulum
didasarkan pada faktor-faktor yang konstan yaitu pengembangan model kurikulum
perlu didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan
evaluasi yang tergambarkan dalam proses pengembangan tersebut.
B.
Model
Tyler
Model Tyler adalah model yang paling dikenal bagi
perkembangan kurikulum dengan perhatian khusus pada fase perencanaan, dalam
bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction. The Tyler Rationale,
suatu proses pemilihan tujuan pendidikan, dikenal luas dan dipraktekkan dalam
lingkungan kurikulum.Walaupun Tyler mengajukan suatu model yang komprehensif
bagi perkembangan kurikulum, bagian pertarna dari model Tyler, pemilihan
tujuan, mendapat banyak perhatian dari pendidik lain.
Tyler Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles Curriculum and Instruction
(1949), mengatakan bahwa curriculum
development needed to be treated logically and systematically. Ia berupaya
menjelaskan tentang pentingnya pendapat secara rasional, menganalisis,
menginterprestasi kurikulum dan program pengajaran dari suatu lembaga
pendidikan.
Menurut Tyler model pengembangan kurikulum harus
mengacu pada empat pertanyaan dasar yang harus di jawab, yaitu:
1) What educational purposes should
the school seek to attain? (objectives). Berkenaan dengan
tujuan yang hendak dicapai.
2) What educational experiences are
likely to attain these objectives? (instructional strategic and content/selecting learning
experiences). Berkenaan dengan jenis pengalaman apa
yang harus disediakan untuk mencapai tujuan.
3) How can these educational
experiences be organized effectively? (organizing learning experiences). Berkenaan dengan organisasi kegiatan atau
pengalaman belajar yang dinilai efektif untuk mencapai tujuan.
4) How can we determine whether these
purposes are being attain? (assessment and evaluation). Berkaitan dengan upaya mekanisme apa yang
digunakan untuk mengetahui apakah tujuan sudah dicapai atau belum.
Oleh karena itu menurut Tyler ada empat tahap yang
harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum, yang meliputi:
1) Menentukan
tujuan pendidikan.
2) Menentukan
proses pembelajaran yang harus dilakukan.
3) Menentukan
organisasi pengalaman belajar.
4) Menentukan
evaluasi pembelajaran.
Pandangan
Tyler pada empat hal di atas yang dianggap fundamental untuk menggembangkan
kurikulum. Terangkum pada empat hal berikut:[
1. Menentukan
tujuan
Dalam menyusun suatu kurikulum,
merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama yang harus dikerjakan.
Sebab, tujuan merupakan arah atau sasaran pendidik. Hendak dibawa ke mana anak
didik? Ke mampuan apa yang harus dimiliki anak didik setelah mengikuti program
pendidikan? Semuanya bermuara kepada tujuan. Sumber perumusan tujuan dapat
berasal dari siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilmu, folosofis, dan
psikologi belajar.
2. Menentukan
pengalaman belajar
Pengalaman belajar adalah segala
aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pengalaman belajar
bukanlah isi atau materi pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan
pelajaran. Prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa yaitu pengalaman
siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, pengalaman belajar harus
memuaskan siswa, dan setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan
siswa, mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuanyang berbeda.
3. Mengorganisasi
pengalaman belajar
Pengorganisasian akan memberikan
arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar
yang nyata bagi siswa. Pengorganisasian dilakukan dengan vertikal dan
horizontal. Secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar dalam satu
kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda. Misalnya, pengorganisasian
pengalaman belajar yang menghubungkan antara bidang geografi di kelas lima dan
bidang geografi di kelas enam. Sedangkan secara horizontal jika kita
menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam
tingkat yang sama.
4. Evaluasi
Proses evaluasi merupakan langkah
yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang ketercapaian tujuan
yang telah ditetapkan. Evaluasi memegang peranan yang cukup penting, sebab
dengan evaluasi dapat ditentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah atau belum.
Sebagai bapak pengembangan kurikulum, Tyler telah
menanamkan perlunya hal yang lebih rasional, sistematis, dan pendekatan yang
berarti dalam tugas mereka. Tetapi, karya Tyler atau pendapat Tyler sering
dipandang rendah oleh beberapa penulis sesudahnya. Hal itu karena dalam hal
menentukan objective model, ia
terkesan sangat kaku. Namun sebenarnya pandangan yang demikian tidak selalu
benar, mengingat banyak karya atau tulisan Tyler yang telah salah
diinterpretasi, dianalisis secara dangkal, dan bahkan cenderung menghindarinya.[
Tyler
mengusulkan sebuah model
pengembangan kurikulum yang komprehensif, yaitu dengan
merekomendasikan kepada pengembang kurikulum untuk mengidentifikasi
tujuan-tujuan umum dengan mengumpulkan data dari 3 sumber (para peserta didik,
kehidupan nyata di luar lingkungan sekolah dan mata pelajaran) untuk
selanjutnya disempurnakan melalui
2 saringan yang
terdiri atas filosofi
sosial dan kependidikan sekolah,
serta psikologi pembelajaran.
Hasilnya adalah tujuan pembelajaran khusus.[
Model perencanaan rasional deduktif atau rasional
Tyler, menitikberatkan logika dalam merancang program kurikulum dan ber titik
tolak dari spesifikasi tujuan ( goal and
objectives) tetapi cenderung mengabaikan problematika dalam lingkungan
tugas. Model itu dapat diterapkan pada semua tingkat pembuatan keputusan,
misalnya rasionalisasii proyek pengembangan guru, atau menentukan kebijakan
suatu planning by-objectives di
lingkungan departemen. Model ini cocok untuk sistem pendidikan yang
sentralistik yang menitikberatkan pada
sistem perencanaan pusat, di mana kurikulum dianggap sebagai suatu alat untuk
mengembangkan atau mencapai maksud-maksud di bidang sosial ekonomi.
C.
Model
Zais
Dalam model Zais lebih menekankan kepada dari mana
inisiatif bermula, siapa personil yang terlibat, bagaimana kedudukan personil
serta keputusan apa yang diambil oleh personal tersebut. Berdasarkan pada
pemikiran tersebut, dengan merujuk pada pembagian model pengembangan kurikulum
dari Stanley, Smith dan Shores, Zais menjelaskan tiga model pengembangan
kurikulum yaitu model administrative, model akar rumput (grass root), dan model
demonstrasi.
Zais, Smith dan Shores dengan merujuk pada model
pengembangan kurikulum Stanley mengemukakan tiga model pengembangan kurikulum,
yaitu:
1) Model Administratif
Kurikulum model ini menekankan pada
inisiatif pengembangan kurikulum yang datang dari pihak pejabat (administrator) pendidikan. Termasuk dalam
penunjukan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya. Selanjutnya dengan menggunakan garis komando kurikulum disebarluaskan
untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah. Model ini juga disebut dengan line
staff model.
2) Model Grass Root
Model ini merupakan kebalikan dari model
administrative. Inisiatif pengembangan kurikulum harus datang dari guru.
Inisiatif ini biasanya muncul disebabkan oleh keresahan dan ketidakpuasan guru
terhadap kurikulum yang sedang berjalan. Selanjutnya guru berupaya mengadakan inovasi terhadap
kurikulum tersebut. Oleh sebab itu, peran administrator tidak dominan, sebab
perannya hanya sebagai fasilitator. Jika administrator itu tidak setuju, mereka
juga dapat menjadi penghambat perubahan kurikulum tersebut.
3) Model Demonstrasi
Model pengembangan kurikulum ini pada
prinsipnya dating dari bawah (grass
root). Pada awalnya merupakan inovasi kurikulum dalam skala yang kecil dan kemudian digunakan
dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering tidak mendapat
persetujuan dari pihak-pihak tertentu.
Robert S. Zais mengemukakan delapan model
pengembangan kurikulum. Dasar teoretisnya adalah institusi atau orang yang
menyelenggarakan pengembangan, pengambilan keputusan, penetapan ruang lingkup
kegiatan yang termuat dalam kurikulum, realitas implementasinya, pendekatan
permasalahan dengan cara pelaksanaanya, penelitian sistematis tentang
masalahnya, dan pemanfaatan teknologi dalam pengembangan kurikulum.
D.
Model
Terbalik Hilda Taba
Model ini adalah sebuah model pengembangan kurikulum
yang digagas oleh Hilda Taba (1902-1967) utamanya sebagaimana yang terdapat
dalam bukunya yang berjudul “Curriculum
Development: Theory and Prac tice”
yang terbit pertama kali pada tahun 1962. Model yang dikembangkan oleh Hilda
taba ini kemudian terkenal dengan nama “Taba`s
Inverted Model (Model terbalik dari Taba)”.
Model ini merupakan bentuk urutan tradisional yang
paling sederhana dari pengembangan kurikulum yang untuk diseleksi para komite
(1) untuk menguji wilayah dan
mengembangkan suatu tujuan, (2) merumuskan desain kurikulum berdasarkan tujuan
tertentu, (3) menyusun unit-unit kurikulum sesuai dengan kerangka kerja dalam
desain, (4) melaksanakan kurikulum pada tingkat kelas. Taba yakin bahwa proses
deduktif yang paling mendasar ini cenderung mengurangi kemampuan inovasi
kreatif, karena membatasi kemungkinan untuk bereksperimen tentang ide maupun
konsep pengembangan kurikulum yang mungkin timbul. Iya berpegang bahwa
perubahan dapat dimulai dengan mendesain kembali keseluruhan kerangka kerja.[
Munculnya gagasan atau model pengembangan kurikulum
ini berdasar penilaiannya terhadap kelemahan model pengembangan kurikulum yang
didasarkan model pengembangan yang bersifat tradisional dikembangkan dengan
cara deduktif. Beberapa kelemahan pengembangan kurikulum dengan model
tradsional “deduktif” tersebut menurutnya adalah: Pertama, proses pengembangan
kurikulum secara deduktif ini cenderung untuk mereduksi kemungkinan lahirnya
inovasi kreatif, sebab ia membatasi kemungkinan adanya eksprementasi ide-ide
dan konsep-konsep kurikulum baru yang dapat dimunculkan. Kedua, dengan proses
pengembangan model deduktif ini, dapat dinyatakan bahwa perencanaan-perencanaan
kurikulum yang tampaknya tepat, namun ketika implementasi dilakukan
kadang-kadang ia tidak memenuhi, apabila substansi porsi-porsi dari desain
secara empirik tidak ada. Ketiga, karena proses deduktif ini tidak disusun
berdasarkan kenyataan, maka kurikuoum yang dihasilkan cenderung sangat general,
dan abstrak, dan sebagai formula pembelajaran yang baku, sehingga sedikit
sekali memberikan tuntunan (guidance) bagi adanya konversi ke dalam praktik
pembelajaran.
Taba memodifikasi model dasar Tyler agar lebih
representative terhadap pengembangan kurikulum di berbagai sekolah. Taba
menganjurkan untuk lebih mempunyai informasi tentang masukan (input) pada
setiap langkah proses kurikulum. Secara khusus Taba menganjurkan untuk
menggunakan pertimbangan ganda terhadap isi (organisasi kurikulum yang logis)
dan individu pelajar (psikologi organiasi kurikulum).[
Semua kurikulum disusun dari elemen-elemen dasar.
Suatu kurikulum biasanya berisi beberapa seleksi dan organisasi isi, hal ini
merupakan manifestasi atau implikasi dari bentuk-bentuk belajar dan mengajar,
kemudian suatu program evaluasi dari hasil pun akan dilakukan.
Taba
menggunakan pendekatan akar
rumput (grass - roots approach)
bagi perkembangan kurikulum.
Taba percaya kurikulum harus
dirancang oleh guru
dan bukan diberikan
oleh pihak berwenang. Menurut
Taba guru harus
memulai proses dengan menciptakan
suatu unit belajar
mengajar khusus bagi murid-murid mereka
disekolah dan bukan
terlibat dalam rancangan suatu
kurikulum umum. Karena
itu Taba menganut
pendekatan
induktif yang dimulai den gan hal khusus
dan dibangun menjadi suatu rancangan umum. Taba mencantumkan lima
langkah urutan untuk
mencapai perubahan kurikulum,
sebagai berikut :
a.
Producing
Pilot Units (membuat
unit percontohan) yang mewakili
peringkat kelas atau
mata pelajaran. Taba
melihat langkah ini sebagai penghubung
antara teori dan praktek.
1)
Diagnosis
of needs (diagnosa
kebutuhan). Pengembang kurikulum memulai
dengan menentukan kebutuhan kebutuhan siswa kepada siapa kurikulum direncanakan.
2)
Formulation of objectives (merumuskan
tujuan). Setelah kebutuhan siswa didiagnosa, perencana kurikulum
merinci tujuan – tujuan yang akan dicapai.
3)
Selection of content (pemilihan isi).
Bahasan yang akan
dipelajari berpangkal langsung dari tujuan-tujuan
4)
Organization of content
(organisasisi).Setelah isi/bahasan dipilih, tugas selanjutnya adalah menentukan
pada tingkat dan urutan yang mana
mata pelajaran ditempatkan.
5)
Selection of learning experiences
(pemilihan pengalaman belajar). Metodologi atau strategi yang dipergunakan dalam bahasan harus dipilih oleh perencana kurikulum.
6)
Organization of learning activities
(organisasi kegiatan pembelajaran). Guru memutuskan bagaimana mengemas kegiatan-kegiatan
pembelajaran dan dalam kombinasi atau urutan seperti apa kegiatan-kegiatan
tersebut akan digunakan.
7)
Determination of what to evaluate and of
the ways and means of doing it
(Penentuan tentang apa yang akan dievaluasi dan cara serta alat yang dipakai untuk melakukan
evaluasi). Perencana kurikulum harus memutuskan apakah tujuan sudah tercapai.
Guru memilih alat dan teknik yang tepat untuk menilai keberhasilan siswa dan
untuk menentukan apakah tujuan kurikulum sudah tercapai.
8)
Checking for balance and sequence
(memeriksa keseimbangan dan urutan). Taba meminta pendapat dari pekerja
kurikulurn untuk melihat konsistensi diantara berbagai bagian dari unit belajar mengajar,
untuk melihat alur pembelajaran yang baik dan untuk keseimbangan antaraberbagai macam pembalajaran dan
ekspresi.
b. Testing Experimental Units (menguji unit
percobaan). Uji ini diperlukan
untuk mengecek validitas
dan apakah materi
tersebut dapat diajarkan dan
untuk menetapkan batas atas dan
batas bawah dari kemampuan yang diharapkan.
c. Revising and
Consolidating (revisi dan
konsolidasi). Unit
pembelajaran dimodifikasi
menyesuaikan dengan keragaman kebutuhan dan
kemampuan siswa, sumber
daya yang tersedia dan
berbagai gaya mengajar
sehingga kurikulum dapat
sesuai dengan semua tipe kelas.
d.
Developing a framework (pengembangan
kerangka kerja). Setelah sejumlah unit dirancang, perencana kurikulum harus memeriksa apakah ruang lingkup sudah memadai
dan urutannya sudah benar.
e.
Installing and disseminating new units
(memasang dan menyebarkan unit-unit
baru) . Mengatur pelatihan sehingga guru - guru dapat
secara efektif mengoperasikan unit
belajar mengajar di kelas mereka.
Taba mengemukakan beberapa pandangan tentang
kurikulum tradisional dan menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam urutan
pengembangannya, yang menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktek.Taba
menganjurkan pembalikan urutan-urutan tradisional yang dimulai dengan desain
umum, untuk menghindari kesenjangan antara teori dan praktek, dan memberikan
kemudahan apabila diperkenalkan kepada sekolah lain.
Adapun beberapa area yang perlu diperhatikan dalam
merumuskan tujuan menurut Taba adalah sebagai berikut:
1) Concepts or ideas to be learned (konsep atau ide yang akan dipelajari).
2) Attitude, sensitivities, and
feelings to be developed (sikap, sensitivitas, dan perasaan
yang akan dibangun).
3) Ways
of thinking to be reinforced,
strengthened, or initiated (cara berfikir yang akan ditekankan, dikuatkan,
atau dirumuskan).
4) Habits and skills to be mastered
(kebiasaan dan kemampuan yang akan dikuasai).
Selanjutnya Taba juga memberikan beberapa kriteria
dalam memformulasikan tujuan dalam pendidikan, yaitu:[
1) A statement of objectives should
describe both of the kind of behavior expected and the content or the context
to which that behavior applies. Seharusnya pernyataan tujuan menggambarkan sikap yang
diharapkan dan isi dari penerapan sikap. Yang dimaksud dengan “the content or the context to which that
behavior applies” adalah isi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.
2) Complex objectives need to be
stated analytically and specifically enough so that there is no doubt as to the
kind of behavior expected, or what the behavior applies to. Tujuan
yang komplek perlu dianalisis dan dikhususkan sehingga tidak ada
keraguan terhadap sikap yang diharapkan atau perilaku yang diterapkan.
3) Objectives should also be so
formulated that there are clear distinctions among learning experiences
required to attain different behavior. Tujuan hendaknya
memberikan petunjuk bahwa ada perbedaan yang jelas tentang pengalaman belajar
yang dibutuhkan untuk mencapai sikap yang berbeda.
4) Objectives are developmental,
representing roads to travel rather than terminal points. Tujuan
adalah hal yang dikembangkan, yang merupakan langkah (perjalanan) yang
lebih dari sekedar titik akhir.
Model pengembangan kurikulum yang dikembangkan Taba
ini adalah model terbalik yang didapatkan atas dasar data induktif, karena
biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang datangnya
dari atas secara deduktif. Sedangkan model Taba ini dilaksanakan dengan
terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan,
kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, kemudian diadakan pelaksanaan.
E.
Model
Beauchamp's
Model ini dinamakan sistem Beauchamp, karena memang diciptakan
dan dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan
ada lima langkah dalam proses pengembangan kurikulum.
a. Menetapkan
wilayah atau arena yang akan melakukan perubahan suatu kurikulum. Wilayah itu
bisa terjadi pada hanya satu sekolah, satu kecamatan, kabupaten, atau mungkin
tingkat provinsi dan tingkat nasional.
b. Menetapkan
orang-orang yang akan terlibat dalam proses pengembangan kurikulum. Beauchamp
menyarankan untuk melibatkan seluas-luasnya para tokoh di masyarakat. Orang-orang
yang harus dilibatkan itu terdiri dari para ahli atau spesialis kurikulum, para
ahli pendidikan termasuk didalamnya para guru yang dianggap berpengalaman, para
professional lain dalam bidang pendidikan.
c. Menetapkan
prosedur yang akan ditempuh, yaitu dalam hal merumuskan tujuan umum dan tujuan
khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta menetapkan evaluasi.
Keseluruhan prosedur itu selanjutnya dapat dibagi dalam lima langkah:
1) Membentuk
tim pengembang kurikulum.
2) Melakukan
penilaian terhadap kurikulum yang sedang berjalan.
3) Melakukan
studi atau penjajakan tentang penentuan kurikulum baru.
4) Merumuskan
kriteria dan alternatif pengembangan kurikilum.
5) Menyusun
dan menulis kurikulum yang dikehendaki.
d. Implementasi
kurikulum, pada tahap ini perlu persiapan secara matang berbagai hal yang dapat
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap efektivitas penggunaan
kurikulum, seperti pemahaman guru tentang kurikulum itu, sarana atau fasilitas
yang tersedia, manajemen sekolah, dan lain sebagainya.
e. evaluasi
kurikulum yang meliputi empat dimensi :
1) Evaluasi
terhadap pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di sekolah.
2) Evaluasi
terhadap desain kurikulum.
3) Evaluasi
keberhasilan hasil belajar anak didik.
4) Evaluasi
sistem kurikulum.
Dalam menetapkan
personalia yang terlibat dalam pengembangan kurikulum dibedakan dalam
empat kategori yaitu:
1) Para
ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para
ahli bidang ilmu dari luar.
2) Para
ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guruguru terpilih.
3) Para
profesional dalam sistem pendidikan.
4) Profesional
lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Secara umum model ini telah dianggap lengkap namun
masih terdapat berbagai pertanyaan yang tak terjawab dalam proses rekayasa
kurikulum. Dalam beberapa hal model ini hampir sama dengan model administratif,
terutama dalam orientasinya dari atas ke bawah. Keuntungan model ini terutama adalah adanya penegasan arena yang kiranya akan
mempermudah dan memperjelas ruang lingkup kegiatan. Kekurangannya, seperti
halnya model administratif diatas adalah kurang pekannya terhadap perubahan
masyarakat dan kurang memperhatikan keadaan daerah yang antara satu dengan
lainnya menuntut adanya kekhususan-kekhususan tertentu.
F.
Model
Rogers
Model ini berasal dari seorang psikolog Carl Rogers.
Dia berasumsi bahwa “kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu
yang terbuka, luwes dan adaptif terhadap situasi perubahan.” Kurikulum demikian
hanya dapat disusun dan diterapkan oleh pendidik yang terbuka, luwes dan
berorientasi pada proses.
Meskipun Carl Roger (1902-1987) bukanlah seorang
ahli kurikulum, melainkan ahli psikologi atau psikoterapi, tetapi
konsep-konsepnya tentang psikoterapi yang terkait dengan bagaimana membimbing
individu dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum.
Roger banyak sekali mengemukakan konsep tentang perkembangan dan perubahan
individu, yang kemudian banyak sekali memberikan konstribusi terhadap literatur
pengembangan kurikulum.
Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan
(becoming, developing, changing),
sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi
karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu
memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain
merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut.
Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu
perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong perkembangan anak.[
Model pengembangan kurikulum Roger didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan (jika masyarakat dihadapkan pada perubahan-perubahan
kontemporer) untuk mengkreasi dan menata iklim perubahan yang kondusif. Dia
berpegang pada pandangan bahwa “kita tidak dapat beristirahat dari
pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh masa lalu, tetapi kita harus yakin
dalam proses itu dengan problem-problem baru yang ditemui”. Oleh karena itu,
sebuah kurikulum yang diperlukan adalah yang akan mengembangkan individu-individu
yang terbuka untukberubah, yang pleksibel dan adaptif, dan yang
mempelajaribagaimana belajar.
Model
ini didasarkan atas
kebutuhan untuk menciptakan
serta memelihara suasana yang
baik terhadap perubahan.
Dalam melaksanakan hal ini
digunakan pengalam kelompok
yang intensif, untuk
menghasilkan sesuatu yang berhubungan
dengan berbagai keterampilan
serta penglaman yang mendasar.
Kurikulum
yang dikembangkan hendaknya
dapat mengembangkan individu secara
fleksibel terhadap perubahanperubahan dengan
cara melatih diri
berkomunikasi secara
interpersonal. Langkah-langkahnya:
1) Diadakannya kelompok
untuk dapatnya hubungan
interpersonal di tempat yang tidak sibuk.
2) Kurang
lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling tukar pengalaman, di
bawah pimpinan staf pengajar.
3) Kemudian diadakan
pertemuan dengan masyarakat
yang lebih luas lagi
dalam satu sekolah,
sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna,
yaitu hubungan antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa
dalam suasana yang akrab.
4)
Selanjutnya pertemuan
diadakan dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas
lagi, yaitu dengan mengikutsertakan para pegawai administrasi
dan orang tua
siswa. Dalam situasi
yang demikian diharapkan masing-masing
person akan saling menghayati dan
lebih akrab, sehingga
memudahkan berbagai pemecahan
problem sekolah yang dihadapi.
Model
pengembangan kurikulum dari Roger ini tampaknya berbeda dengan model-model
pengembangan kurikulum lainnya. Dalam model Roger ini tidak ada suatu
perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok
dan penciptaan iklim yang dialami. Dengan pengalaman tersebut dan interaksi
individu yang terdapat dalam kelompok setiap individu akan mengalami perubahan
kea rah yang lebih baik.
G.
Model
Kemmis & Mc Taggart (Pemecahan Masalah/Action Research)
Model
yang dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc. Taggart tidak terlalu
berbeda dengan model Kurt Lewin. Dikatakan demikian karena di dalam satu siklus
atau putaran terdiri atas 4 komponen yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan
tindakan, (3) observasi dan (4) refleksi.
Model
kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan
perubahan sosial. Hal itu mencangkup suatu proses yang melibatkan kepribadian
orang tua, siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan
kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini
menekankan pada tiga hal itu: hubungan insane, sekolah dan organisasi
masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan professional. Penyusunan kurikulum
harus memasukkan pandangan.
Kurikulum
dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh
masyarakat, pengusaha, siswa, guru dan lain-lain, mempunyai pandangan tentang
bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan kurikulum
dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan kurikulum harus memasukkan
pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai
hal itu adalah dengan prosedur action
research.
Tiga
faktor utama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini adalah adanya
hubungan antarmanusia, organisasi sekolah dan masyarakat, serta otoritas ilmu.
Langkah-langkah dalam model ini adalah:
a. Merasakan
adanya suatu masalah dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara
mendalam.
b. Mengidentifikasi
faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya.
c. Merencanakan secara mendalam tentang bagaimana
pemecahan masalahnya.
d.
Menentukan
keputusan-keputusan apakah yang perlu diambil sehubungan dengan masalah
tersebut.
e. Melaksanakan keputusan yang telah diambil dan
menjalankan rencana yang telah disusun.
f. Mencari fakta secara meluas.
g. Menilai tentang
kekuatan dan kelemahannya.
Langkah-langkah
dalam Model Penelitian Tindakan ini merupakan siklus. Hasil yang diperoleh dari
implementasi tindakan pertama akan diikuti dengan tindakan berikutnya yang
diikuti dengan pengumpulan data dan penemuan fakta.[
.