Selasa, 26 Maret 2019

Model Pengembangan Kurikulum


A.    Pengertian Model Pengembangan Kurikulum
Model adalah konstruksi yang bersifat teoristis diri konsep. Model merupakan sebuah bentuk tiruan atau miniatur dari benda atau proses sebenarnya, yang dapat berupa benda ataupun juga prosedur atau gambaran langkah sistematis. Model walaupun tidak menggambarkan sesuatu secara sama persis sebagaimana kenyataan sebenarnya, namun dipandang sebagai replikasi asli, semakin baik replikasi itu, maka semakin baik pula sebuah model tersebut.
Pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga  mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada siswa.
Model pengembangan kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum, dimana kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau sekolah. Model pengembangan kurikulum adalah gambaran sistematis mengenai prosedur yang ditempuh dalam melakukan aktivitas pengembangan kurikulum.
Model pengembangan kurikulum merupakan ulasan teoritis tentang suatu proses pengembangan kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula hanya mencakup salah satu komponen kurikulum. Ada yang memberikan ulasan tentang suatu proses kurikulum, dan ada juga yang hanya menekankan pada mekanisme pengembangannya saja.
Model pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain, menerapkan, dan mengevaluasi suatu

kurikulum. Oleh karena itu  model pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang memenuhi berbagai kebutuhanan standar keberhasilan dalam pendidikan.
Sedapat mungkin dalam pengembangan kurikulum didasarkan pada faktor-faktor yang konstan yaitu pengembangan model kurikulum perlu didasarkan pada tujuan, bahan pelajaran, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang tergambarkan dalam proses pengembangan tersebut.
B.     Model Tyler
Model Tyler adalah model yang paling dikenal bagi perkembangan kurikulum dengan perhatian khusus pada fase perencanaan, dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction. The Tyler Rationale, suatu proses pemilihan tujuan pendidikan, dikenal luas dan dipraktekkan dalam lingkungan kurikulum.Walaupun Tyler mengajukan suatu model yang komprehensif bagi perkembangan kurikulum, bagian pertarna dari model Tyler, pemilihan tujuan, mendapat banyak perhatian dari pendidik lain.
Tyler Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles Curriculum and Instruction (1949), mengatakan bahwa curriculum development needed to be treated logically and systematically. Ia berupaya menjelaskan tentang pentingnya pendapat secara rasional, menganalisis, menginterprestasi kurikulum dan program pengajaran dari suatu lembaga pendidikan.
Menurut Tyler model pengembangan kurikulum harus mengacu pada empat pertanyaan dasar yang harus di jawab, yaitu:
1)      What educational purposes should the school seek to attain? (objectives). Berkenaan dengan tujuan yang hendak dicapai.
2)      What educational experiences are likely to attain these objectives? (instructional  strategic and content/selecting learning experiences). Berkenaan dengan jenis pengalaman apa yang harus disediakan untuk mencapai tujuan.
3)      How can these educational experiences be organized effectively? (organizing learning experiences).  Berkenaan dengan organisasi kegiatan atau pengalaman belajar yang dinilai efektif untuk mencapai tujuan.
4)      How can we determine whether these purposes are being attain? (assessment and evaluation).  Berkaitan dengan upaya mekanisme apa yang digunakan untuk mengetahui apakah tujuan sudah dicapai atau belum.
Oleh karena itu menurut Tyler ada empat tahap yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum, yang meliputi:
1)      Menentukan tujuan pendidikan.
2)      Menentukan proses pembelajaran yang harus dilakukan.
3)      Menentukan organisasi pengalaman belajar.
4)      Menentukan evaluasi pembelajaran.
Pandangan Tyler pada empat hal di atas yang dianggap fundamental untuk menggembangkan kurikulum. Terangkum pada empat hal berikut:[
1.       Menentukan tujuan
Dalam menyusun suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau sasaran pendidik. Hendak dibawa ke mana anak didik? Ke mampuan apa yang harus dimiliki anak didik setelah mengikuti program pendidikan? Semuanya bermuara kepada tujuan. Sumber perumusan tujuan dapat berasal dari siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilmu, folosofis, dan psikologi belajar.
2.       Menentukan pengalaman belajar
Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa yaitu pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, pengalaman belajar harus memuaskan siswa, dan setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan siswa, mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuanyang berbeda.
3.       Mengorganisasi pengalaman belajar
Pengorganisasian akan memberikan arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar yang nyata bagi siswa. Pengorganisasian dilakukan dengan vertikal dan horizontal. Secara vertikal apabila menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda. Misalnya, pengorganisasian pengalaman belajar yang menghubungkan antara bidang geografi di kelas lima dan bidang geografi di kelas enam. Sedangkan secara horizontal jika kita menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama.
4.       Evaluasi
Proses evaluasi merupakan langkah yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi memegang peranan yang cukup penting, sebab dengan evaluasi dapat ditentukan apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah atau belum.
Sebagai bapak pengembangan kurikulum, Tyler telah menanamkan perlunya hal yang lebih rasional, sistematis, dan pendekatan yang berarti dalam tugas mereka. Tetapi, karya Tyler atau pendapat Tyler sering dipandang rendah oleh beberapa penulis sesudahnya. Hal itu karena dalam hal menentukan objective model, ia terkesan sangat kaku. Namun sebenarnya pandangan yang demikian tidak selalu benar, mengingat banyak karya atau tulisan Tyler yang telah salah diinterpretasi, dianalisis secara dangkal, dan bahkan cenderung menghindarinya.[
Tyler  mengusulkan  sebuah  model  pengembangan  kurikulum  yang komprehensif, yaitu dengan merekomendasikan kepada pengembang kurikulum untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan umum dengan mengumpulkan data dari 3 sumber (para peserta didik, kehidupan nyata di luar lingkungan sekolah dan mata pelajaran) untuk selanjutnya  disempurnakan  melalui  2  saringan  yang  terdiri  atas  filosofi  sosial  dan kependidikan  sekolah,  serta  psikologi  pembelajaran.  Hasilnya  adalah  tujuan pembelajaran khusus.[
Model perencanaan rasional deduktif atau rasional Tyler, menitikberatkan logika dalam merancang program kurikulum dan ber titik tolak dari spesifikasi tujuan ( goal and objectives) tetapi cenderung mengabaikan problematika dalam lingkungan tugas. Model itu dapat diterapkan pada semua tingkat pembuatan keputusan, misalnya rasionalisasii proyek pengembangan guru, atau menentukan kebijakan suatu planning by-objectives di lingkungan departemen. Model ini cocok untuk sistem pendidikan yang sentralistik  yang menitikberatkan pada sistem perencanaan pusat, di mana kurikulum dianggap sebagai suatu alat untuk mengembangkan atau mencapai maksud-maksud di bidang sosial ekonomi.
C.    Model Zais
Dalam model Zais lebih menekankan kepada dari mana inisiatif bermula, siapa personil yang terlibat, bagaimana kedudukan personil serta keputusan apa yang diambil oleh personal tersebut. Berdasarkan pada pemikiran tersebut, dengan merujuk pada pembagian model pengembangan kurikulum dari Stanley, Smith dan Shores, Zais menjelaskan tiga model pengembangan kurikulum yaitu model administrative, model akar rumput (grass root), dan model demonstrasi.
Zais, Smith dan Shores dengan merujuk pada model pengembangan kurikulum Stanley mengemukakan tiga model pengembangan kurikulum, yaitu: 
1) Model Administratif
Kurikulum model ini menekankan pada inisiatif pengembangan kurikulum yang datang dari pihak pejabat  (administrator) pendidikan. Termasuk dalam penunjukan  pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya dengan menggunakan garis komando kurikulum disebarluaskan untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah. Model ini juga disebut dengan line staff model.
2) Model Grass Root
Model ini merupakan kebalikan dari model administrative. Inisiatif pengembangan kurikulum harus datang dari guru. Inisiatif ini biasanya muncul disebabkan oleh keresahan dan ketidakpuasan guru terhadap kurikulum yang sedang berjalan. Selanjutnya  guru berupaya mengadakan inovasi terhadap kurikulum tersebut. Oleh sebab itu, peran administrator tidak dominan, sebab perannya hanya sebagai fasilitator. Jika administrator itu tidak setuju, mereka juga dapat menjadi penghambat perubahan kurikulum tersebut.
3) Model Demonstrasi
Model pengembangan kurikulum ini pada prinsipnya dating dari bawah  (grass root).  Pada awalnya merupakan inovasi kurikulum  dalam skala yang kecil dan kemudian digunakan dalam skala yang lebih luas, tetapi dalam prosesnya sering tidak mendapat persetujuan dari pihak-pihak tertentu.
Robert S. Zais mengemukakan delapan model pengembangan kurikulum. Dasar teoretisnya adalah institusi atau orang yang menyelenggarakan pengembangan, pengambilan keputusan, penetapan ruang lingkup kegiatan yang termuat dalam kurikulum, realitas implementasinya, pendekatan permasalahan dengan cara pelaksanaanya, penelitian sistematis tentang masalahnya, dan pemanfaatan teknologi dalam pengembangan kurikulum.
D.    Model Terbalik Hilda Taba
Model ini adalah sebuah model pengembangan kurikulum yang digagas oleh Hilda Taba (1902-1967) utamanya sebagaimana yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “Curriculum Development: Theory and Prac tice” yang terbit pertama kali pada tahun 1962. Model yang dikembangkan oleh Hilda taba ini kemudian terkenal dengan nama “Taba`s Inverted Model (Model terbalik dari Taba)”.
Model ini merupakan bentuk urutan tradisional yang paling sederhana dari pengembangan kurikulum yang untuk diseleksi para komite (1)  untuk menguji wilayah dan mengembangkan suatu tujuan, (2) merumuskan desain kurikulum berdasarkan tujuan tertentu, (3) menyusun unit-unit kurikulum sesuai dengan kerangka kerja dalam desain, (4) melaksanakan kurikulum pada tingkat kelas. Taba yakin bahwa proses deduktif yang paling mendasar ini cenderung mengurangi kemampuan inovasi kreatif, karena membatasi kemungkinan untuk bereksperimen tentang ide maupun konsep pengembangan kurikulum yang mungkin timbul. Iya berpegang bahwa perubahan dapat dimulai dengan mendesain kembali keseluruhan kerangka kerja.[
Munculnya gagasan atau model pengembangan kurikulum ini berdasar penilaiannya terhadap kelemahan model pengembangan kurikulum yang didasarkan model pengembangan yang bersifat tradisional dikembangkan dengan cara deduktif. Beberapa kelemahan pengembangan kurikulum dengan model tradsional “deduktif” tersebut menurutnya adalah: Pertama, proses pengembangan kurikulum secara deduktif ini cenderung untuk mereduksi kemungkinan lahirnya inovasi kreatif, sebab ia membatasi kemungkinan adanya eksprementasi ide-ide dan konsep-konsep kurikulum baru yang dapat dimunculkan. Kedua, dengan proses pengembangan model deduktif ini, dapat dinyatakan bahwa perencanaan-perencanaan kurikulum yang tampaknya tepat, namun ketika implementasi dilakukan kadang-kadang ia tidak memenuhi, apabila substansi porsi-porsi dari desain secara empirik tidak ada. Ketiga, karena proses deduktif ini tidak disusun berdasarkan kenyataan, maka kurikuoum yang dihasilkan cenderung sangat general, dan abstrak, dan sebagai formula pembelajaran yang baku, sehingga sedikit sekali memberikan tuntunan (guidance) bagi adanya konversi ke dalam praktik pembelajaran.
Taba memodifikasi model dasar Tyler agar lebih representative terhadap pengembangan kurikulum di berbagai sekolah. Taba menganjurkan untuk lebih mempunyai informasi tentang masukan (input) pada setiap langkah proses kurikulum. Secara khusus Taba menganjurkan untuk menggunakan pertimbangan ganda terhadap isi (organisasi kurikulum yang logis) dan individu pelajar (psikologi organiasi kurikulum).[
Semua kurikulum disusun dari elemen-elemen dasar. Suatu kurikulum biasanya berisi beberapa seleksi dan organisasi isi, hal ini merupakan manifestasi atau implikasi dari bentuk-bentuk belajar dan mengajar, kemudian suatu program evaluasi dari hasil pun akan dilakukan.
Taba   menggunakan  pendekatan  akar  rumput   (grass - roots approach)  bagi   perkembangan  kurikulum.  Taba  percaya kurikulum  harus  dirancang  oleh  guru   dan  bukan  diberikan  oleh pihak  berwenang.  Menurut  Taba  guru  harus  memulai   proses dengan  menciptakan  suatu  unit  belajar  mengajar  khusus  bagi murid-murid  mereka  disekolah  dan  bukan  terlibat  dalam rancangan  suatu  kurikulum  umum.   Karena  itu  Taba  menganut pendekatan induktif yang dimulai den gan hal khusus  dan dibangun menjadi suatu rancangan umum. Taba mencantumkan  lima  langkah  urutan  untuk  mencapai  perubahan kurikulum, sebagai berikut :
a. Producing  Pilot  Units  (membuat  unit  percontohan)  yang mewakili  peringkat  kelas  atau  mata  pelajaran.  Taba  melihat langkah ini sebagai penghubung   antara teori dan praktek.
1) Diagnosis  of  needs (diagnosa kebutuhan).  Pengembang kurikulum memulai dengan menentukan kebutuhan kebutuhan siswa kepada siapa  kurikulum direncanakan.
2) Formulation of objectives (merumuskan tujuan).  Setelah kebutuhan  siswa didiagnosa, perencana  kurikulum  merinci tujuan    tujuan yang akan dicapai.
3) Selection of content (pemilihan isi). Bahasan  yang  akan  dipelajari berpangkal langsung dari tujuan-tujuan
4) Organization of content (organisasisi).Setelah isi/bahasan dipilih, tugas selanjutnya adalah menentukan pada tingkat  dan urutan yang mana mata  pelajaran  ditempatkan.
5) Selection of learning experiences (pemilihan pengalaman belajar). Metodologi atau strategi yang dipergunakan  dalam bahasan harus dipilih  oleh perencana kurikulum.
6) Organization of learning activities (organisasi kegiatan pembelajaran). Guru memutuskan bagaimana mengemas kegiatan-kegiatan pembelajaran dan dalam kombinasi atau urutan seperti apa kegiatan-kegiatan tersebut akan digunakan.
7) Determination of what to evaluate and of the ways  and means of doing it (Penentuan tentang apa yang akan dievaluasi dan cara  serta alat yang dipakai untuk melakukan evaluasi). Perencana kurikulum harus memutuskan apakah tujuan sudah tercapai. Guru memilih alat dan teknik yang tepat untuk menilai keberhasilan siswa dan untuk menentukan  apakah  tujuan kurikulum sudah tercapai.
8) Checking for balance and sequence (memeriksa keseimbangan dan urutan). Taba meminta pendapat dari pekerja kurikulurn untuk melihat konsistensi diantara berbagai bagian  dari unit belajar  mengajar,  untuk   melihat  alur pembelajaran yang baik dan untuk keseimbangan  antaraberbagai macam pembalajaran dan ekspresi.
b.  Testing  Experimental Units (menguji  unit  percobaan).  Uji ini diperlukan untuk  mengecek  validitas  dan  apakah  materi  tersebut dapat  diajarkan  dan  untuk   menetapkan batas atas dan batas bawah dari kemampuan yang diharapkan.
c.  Revising  and  Consolidating  (revisi  dan  konsolidasi).  Unit pembelajaran   dimodifikasi  menyesuaikan  dengan  keragaman kebutuhan  dan  kemampuan   siswa,  sumber  daya  yang  tersedia dan  berbagai  gaya  mengajar  sehingga   kurikulum  dapat  sesuai dengan semua tipe kelas.
d. Developing a framework (pengembangan kerangka kerja). Setelah sejumlah unit dirancang, perencana kurikulum harus  memeriksa apakah ruang lingkup sudah memadai dan urutannya sudah benar.
e. Installing and disseminating new units (memasang dan menyebarkan  unit-unit baru) . Mengatur  pelatihan  sehingga guru - guru  dapat  secara  efektif   mengoperasikan  unit  belajar mengajar di kelas mereka.
Taba mengemukakan beberapa pandangan tentang kurikulum tradisional dan menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam urutan pengembangannya, yang menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktek.Taba menganjurkan pembalikan urutan-urutan tradisional yang dimulai dengan desain umum, untuk menghindari kesenjangan antara teori dan praktek, dan memberikan kemudahan apabila diperkenalkan kepada sekolah lain.
Adapun beberapa area yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan menurut Taba adalah sebagai berikut:
1)      Concepts or ideas to be learned  (konsep atau ide yang akan dipelajari).
2)      Attitude, sensitivities, and feelings to be developed (sikap, sensitivitas, dan perasaan yang akan dibangun).
3)      Ways of thinking to be reinforced, strengthened, or initiated (cara berfikir yang akan ditekankan, dikuatkan, atau dirumuskan).
4)      Habits and skills to be mastered (kebiasaan dan kemampuan yang akan dikuasai).
Selanjutnya Taba juga memberikan beberapa kriteria dalam memformulasikan tujuan dalam pendidikan, yaitu:[
1)      A statement of objectives should describe both of the kind of behavior expected and the content or the context to which that behavior applies. Seharusnya  pernyataan tujuan menggambarkan sikap yang diharapkan dan isi dari penerapan sikap. Yang dimaksud dengan “the content or the context to which that behavior applies” adalah isi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.
2)      Complex objectives need to be stated analytically and specifically enough so that there is no doubt as to the kind of behavior expected, or what the behavior applies to.  Tujuan  yang komplek perlu dianalisis dan dikhususkan sehingga tidak ada keraguan terhadap sikap yang diharapkan atau perilaku yang diterapkan.
3)      Objectives should also be so formulated that there are clear distinctions among learning experiences required to attain different behavior. Tujuan hendaknya memberikan petunjuk bahwa ada perbedaan yang jelas tentang pengalaman belajar yang dibutuhkan untuk mencapai sikap yang berbeda.
4)      Objectives are developmental, representing roads to travel rather than terminal  points.  Tujuan  adalah hal yang dikembangkan, yang merupakan langkah (perjalanan) yang lebih dari sekedar titik akhir.
Model pengembangan kurikulum yang dikembangkan Taba ini adalah model terbalik yang didapatkan atas dasar data induktif, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas secara deduktif. Sedangkan model Taba ini dilaksanakan dengan terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, kemudian diadakan pelaksanaan.
E.     Model Beauchamp's
Model ini dinamakan sistem Beauchamp, karena memang diciptakan dan dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan ada lima langkah dalam proses pengembangan kurikulum.
a.       Menetapkan wilayah atau arena yang akan melakukan perubahan suatu kurikulum. Wilayah itu bisa terjadi pada hanya satu sekolah, satu kecamatan, kabupaten, atau mungkin tingkat provinsi dan tingkat nasional.
b.      Menetapkan orang-orang yang akan terlibat dalam proses pengembangan kurikulum. Beauchamp menyarankan untuk melibatkan seluas-luasnya para tokoh di masyarakat. Orang-orang yang harus dilibatkan itu terdiri dari para ahli atau spesialis kurikulum, para ahli pendidikan termasuk didalamnya para guru yang dianggap berpengalaman, para professional lain dalam bidang pendidikan.
c.       Menetapkan prosedur yang akan ditempuh, yaitu dalam hal merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta menetapkan evaluasi. Keseluruhan prosedur itu selanjutnya dapat dibagi dalam lima langkah:
1)      Membentuk tim pengembang kurikulum.
2)      Melakukan penilaian terhadap kurikulum yang sedang berjalan.
3)      Melakukan studi atau penjajakan tentang penentuan kurikulum baru.
4)      Merumuskan kriteria dan alternatif pengembangan kurikilum.
5)      Menyusun dan menulis kurikulum yang dikehendaki.
d.      Implementasi kurikulum, pada tahap ini perlu persiapan secara matang berbagai hal yang dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap efektivitas penggunaan kurikulum, seperti pemahaman guru tentang kurikulum itu, sarana atau fasilitas yang tersedia, manajemen sekolah, dan lain sebagainya.
e.       evaluasi kurikulum yang meliputi empat dimensi :
1)      Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di sekolah.
2)      Evaluasi terhadap desain kurikulum.
3)      Evaluasi keberhasilan hasil belajar anak didik.
4)      Evaluasi sistem kurikulum.
Dalam menetapkan  personalia yang terlibat dalam pengembangan kurikulum dibedakan dalam empat kategori yaitu:
1)      Para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar.
2)      Para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guruguru terpilih.
3)      Para profesional dalam sistem pendidikan.
4)      Profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat.
Secara umum model ini telah dianggap lengkap namun masih terdapat berbagai pertanyaan yang tak terjawab dalam proses rekayasa kurikulum. Dalam beberapa hal model ini hampir sama dengan model administratif, terutama dalam orientasinya dari atas ke bawah. Keuntungan model ini terutama adalah adanya penegasan arena yang kiranya akan mempermudah dan memperjelas ruang lingkup kegiatan. Kekurangannya, seperti halnya model administratif diatas adalah kurang pekannya terhadap perubahan masyarakat dan kurang memperhatikan keadaan daerah yang antara satu dengan lainnya menuntut adanya kekhususan-kekhususan tertentu. 
F.     Model Rogers
Model ini berasal dari seorang psikolog Carl Rogers. Dia berasumsi bahwa “kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes dan adaptif terhadap situasi perubahan.” Kurikulum demikian hanya dapat disusun dan diterapkan oleh pendidik yang terbuka, luwes dan berorientasi pada proses.
Meskipun Carl Roger (1902-1987) bukanlah seorang ahli kurikulum, melainkan ahli psikologi atau psikoterapi, tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi yang terkait dengan bagaimana membimbing individu dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kurikulum. Roger banyak sekali mengemukakan konsep tentang perkembangan dan perubahan individu, yang kemudian banyak sekali memberikan konstribusi terhadap literatur pengembangan kurikulum.
Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong perkembangan anak.[
Model pengembangan kurikulum Roger didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan (jika masyarakat dihadapkan pada perubahan-perubahan kontemporer) untuk mengkreasi dan menata iklim perubahan yang kondusif. Dia berpegang pada pandangan bahwa “kita tidak dapat beristirahat dari pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan oleh masa lalu, tetapi kita harus yakin dalam proses itu dengan problem-problem baru yang ditemui”. Oleh karena itu, sebuah kurikulum yang diperlukan adalah yang akan mengembangkan individu-individu yang terbuka untukberubah, yang pleksibel dan adaptif, dan yang mempelajaribagaimana belajar.
Model  ini  didasarkan  atas  kebutuhan  untuk  menciptakan  serta memelihara  suasana  yang  baik  terhadap  perubahan.  Dalam  melaksanakan hal  ini  digunakan  pengalam  kelompok  yang  intensif,  untuk  menghasilkan sesuatu  yang  berhubungan  dengan  berbagai  keterampilan  serta  penglaman yang mendasar.
Kurikulum  yang  dikembangkan  hendaknya  dapat mengembangkan  individu  secara  fleksibel  terhadap  perubahanperubahan  dengan  cara  melatih  diri  berkomunikasi  secara interpersonal. Langkah-langkahnya:
1)      Diadakannya  kelompok  untuk  dapatnya  hubungan  interpersonal di tempat yang tidak sibuk.
2)      Kurang lebih dalam satu minggu para peserta mengadakan saling tukar pengalaman, di bawah pimpinan staf pengajar.
3)      Kemudian  diadakan  pertemuan  dengan  masyarakat  yang  lebih luas  lagi  dalam  satu  sekolah,  sehingga  hubungan  interpersonal akan menjadi lebih sempurna, yaitu hubungan antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa dalam suasana yang akrab.
4)      Selanjutnya  pertemuan  diadakan  dengan  mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi, yaitu dengan mengikutsertakan para pegawai  administrasi  dan  orang  tua  siswa.  Dalam  situasi  yang demikian  diharapkan  masing-masing  person  akan  saling menghayati  dan  lebih  akrab,  sehingga  memudahkan  berbagai pemecahan problem sekolah yang dihadapi.
            Model pengembangan kurikulum dari Roger ini tampaknya berbeda dengan model-model pengembangan kurikulum lainnya. Dalam model Roger ini tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok dan penciptaan iklim yang dialami. Dengan pengalaman tersebut dan interaksi individu yang terdapat dalam kelompok setiap individu akan mengalami perubahan kea rah yang lebih baik.
G.    Model Kemmis & Mc Taggart (Pemecahan Masalah/Action Research)
            Model yang dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc. Taggart tidak terlalu berbeda dengan model Kurt Lewin. Dikatakan demikian karena di dalam satu siklus atau putaran terdiri atas 4 komponen yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan (4) refleksi.
            Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencangkup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal itu: hubungan insane, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan professional. Penyusunan kurikulum harus memasukkan pandangan.
            Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat, pengusaha, siswa, guru dan lain-lain, mempunyai pandangan tentang bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan kurikulum harus memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research.
            Tiga faktor utama yang dijadikan bahan pertimbangan dalam model ini adalah adanya hubungan antarmanusia, organisasi sekolah dan masyarakat, serta otoritas ilmu. Langkah-langkah dalam model ini adalah:
a. Merasakan adanya suatu masalah dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya.
c.  Merencanakan secara mendalam tentang bagaimana pemecahan masalahnya.
d.                      Menentukan keputusan-keputusan apakah yang perlu diambil sehubungan dengan masalah tersebut.
e.  Melaksanakan keputusan yang telah diambil dan menjalankan rencana yang telah disusun.
f.  Mencari fakta secara meluas.
g. Menilai tentang kekuatan dan kelemahannya.
            Langkah-langkah dalam Model Penelitian Tindakan ini merupakan siklus. Hasil yang diperoleh dari implementasi tindakan pertama akan diikuti dengan tindakan berikutnya yang diikuti dengan pengumpulan data dan penemuan fakta.[



.

Mengenal Tipologi Belajar Siswa

  A.            Pengertian Tipologi Belajar Tipologi mengandung dua kata yakni “Tipo” dan “Logi”, yang berasal dari “Tipe” dan “Logos”, Ti...